Anda mungkin kenal burung kecil berwarna hijau dengan garis putih melingkar sekeliling bola mata yang dikampungku di lereng gunung Slamet lebih dikenal dengan nama Precit, sekarang di kenal dengan nama Pleci. Tweeter burung kecil mungil nan imut-imut mencicit bersaut-sautan terdengar dari mulai pagi menjelang bersama datangnya sinar mentari hingga petang kini nyaris tiada lagi.
Seiring peradaban manusia berkembang, sikecil imut yang dulu hidup berdampingan menunaikan tugasnya mewarnai bumi kini seperti telah menghadapi pembantaian.
Burung berkaca mata yang dulu diabaikan, tiba-tiba menebar pesona para pencinta burung. Hampir secara umum dan global binatang itu digemari oleh pencinta burung di seantero Indonesia. Sekitar tahun 2014 burung-burung itu mulai diburu sehingga mendorong para pemikat burung untuk memikatnya dalam jumlah banyak dan diperjual belikan.
Kelebihan dan keunikan burung yang tak sengaja diketahui mempunyai kepintaran meniru suara burung yang lainnya, membuat kebanggaan sendiri bagi pelatih atau pemliknya. Hal itu dibuktikan dengan perolehan prestasi setelah burung tersebut dilombakan disebuah kontes dan yuri menilainya dan menang.
Jika sudah begitu, burung yang harga baru tangkapnya paling berkisar 30 ribuan bisa melonjak jutaan, puluhan juta bahkan ratusan juta. Budaya kontes-kontesan burung juga tak bisa dilepaskan dari fenomena tersebut. Hal itu sudah menjadi trend baru di semua pelosok negri dan penggemarnya adalah dari semua kalangan, anak muda, orang tua, laki-laki dan perempuan.
Benar-benar burung yang patut untuk disayangi. Tapi bagaimana jika rasa sayang itu membuat mereka punah? Sayang, kan. Kini dihabitatnya tak lagi bisa dilihat koloni mereka menyanyi diatas dahan pohon kalbasiah, membuat sarang, dan berkembang meneruskan keturunannya.
Kini mereka di dalam sangkar emas, minum madu dan susu ,tapi bahagiakah untuk jauh dari kekasih, istri, anak dan teman-temannya, karena binatang ini adalah binatang kolonial yang tak bisa hidup dalam kesendirian.
Dalam kontes, mungkin ia menyanyi tapi mungkin juga ia meronta atau jika manusia tahu bahasanya, mungkin mereka tak ubahnya bagai burung dalam sangkar, sungguh nasibmu malang benar, tapi tak seorangpun ambil tahu luka dan lara dihatimu....seperti yang dikutif dalam sebuah lagu yang begitu sering kita dengar itu. Atau satu kalimat pesan buat om, mas, pak mba pencinta Pleci, "Jika engkau sayang padanya , lepaskan dia" biarlah mereka tetap menjadi bagian dari alam, jangan dia harus menjadi korban dari sebuah hoby dan hiburan.